Salah satu undang-undang yang harus ada dikala suatu negara menandatangani konvensi PBB melawan korupsi yaitu RUU Perampasan Aset atau acap kali dikenal dengan asset recovery.

Namun, sejak Indonesia meratifikasi konvensi hal yang demikian, hingga sekarang Indonesia belum juga memiliki undang-undang peraturan terkait dengan perampasan aset.

Latar belakang RUU Perampasan Aset

Dr. Muhammad Adnan, Dosen ahli di bidang kajian anti korupsi dan filsafat politik, Ilmu Pemerintahan Fisip Undip ikut serta memberikan pendapatnya mengenai RUU Perampasan Aset.

Adnan menjelaskan, tahun 2003 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan resolusi tentang konvensi PBB melawan bet 10 korupsi (United Nations Convention Against Corruption), kemudian pada tahun 2006 Indonesia ikut serta serta meratifikasi konvensi itu dengan mengeluarkan UU No. 7 tahun 2006 yang mendukung konvensi hal yang demikian. Salah satu langkah yang harus ditempuh oleh negara yang meratifikasi konvensi PBB melawan korupsi yaitu membuat UU perampasan harta kekayaan koruptor.

“Sejak itu sebenarnya Indonesia sudah berusaha untuk memenuhi ketentuan tentang perlunya UU perampasan hal yang demikian, hanya saja usaha itu melemah,” kata Adnan kepada LPM Opini, Kamis (27/04).

Sementara, Adnan menganggap kasus Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) senilai Rp. 349 Triliun pada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) hanya sebatas trigger saja. Faktor utama yang melatarbelakangi RUU Perampasan Aset yaitu memenuhi ketentuan karena Indonesia telah meratifikasi konvensi PBB hal yang demikian. Kemudian, menunjang munculnya trigger yang menjadi penyemangat supaya UU Perampasan Aset lantas disahkan. Perampasan aset menjadi alat yang ampuh untuk memiskinkan koruptor.

“Koruptor-koruptor hal yang demikian selama tidak dihukum mati, mereka masih pede (berani) melakukan korupsi. Saya ingin, sebelum akhir masa jabatan Pak Jokowi, RUU hal yang demikian sudah disahkan oleh DPR,” kata Adnan.

Adnan berpendapat jikalau kasus TPPU senilai Rp. 349 Triliun pada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menjadi salah satu trigger yang membuat RUU Perampasan Aset kembali dikawal. Namun, penyebabnya tidak hanya itu, namun juga kemunculan gaya hidup mewah keluarga pejabat di media sosial yang ikut serta andil membuat RUU Perampasan Aset dikawal kembali.

“Saya bilang ini momentum, jikalau kita tidak lantas mendesak pemerintah dan DPR, kita bisa kehilangan momentum apalagi kemudian disibukkan dengan agenda politik 2024,” jelas Adnan.

Progress RUU Perampasan Aset dan Alasan Pengesahan yang Memakan Waktu Lama

Adnan menjelaskan bahwa hakekatnya RUU Perampasan Aset sudah masuk Program Legislasi Nasional Penyusunan Undang-Undang (Prolegnas) sejak tahun 2012, namun selalu terhenti di tengah jalan. Pada masa jabatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, nasib RUU hal yang demikian tidak jelas sampai menjelang akhir jabatan dari Presiden Jokowi, yang kesudahannya mulai muncul keinginan untuk lantas mengatasi RUU Perampasan Aset hal yang demikian.

“Mestinya ini tidak hanya didesakkan oleh aktivis korupsi, namun oleh semua komponen bangsa,” kata Adnan.

Adnan juga menjelaskan jikalau pembahasan mengenai RUU Perampasan Aset baru bisa berjalan jikalau Presiden Jokowi mengeluarkan Surat Presiden (surpres) tentang RUU Perampasan Aset kepada DPR. Menurut Adnan, semestinya DPR tidak pasif.

“Saya mendengar dibandingkan dengan yang pernah dimunculkan di awal itu memang terdapat revisi (pembenaran), jadi jikalau masuk prolegnas sudah sejak dari DPR sebelum -sebelumnya sudah masuk di prolegnas,” imbuhnya.

RUU Perampasan Aset ini termasuk dalam daftar panjang (long-list) prolegnas DPR RI 2019-2024. RUU hal yang demikian tercatat menjadi RUU usulan pemerintah dan menjadi prolegnas prioritas 2023. Menurut pendapat Adnan kata kunci untuk RUU Perampasan Aset lantas dibahas yaitu adanya surpres dan DPR memprioritaskan pembahasan RUU Perampasan Aset.

“Nah jikalau masuk prioritas, DPR patut untuk lantas membahas,” kata Adnan.

Adnan juga memberikan tanggapannya terkait dengan ucapan Ketua Komisi III DPR RI, Bambang Wuryanto (Bambang Pacul) yang mengatakan bahwa RUU Perampasan Aset dapat disahkan, namun harus didiskusikan lebih-lebih dulu dengan ketua partai. Adnan menyebut ucapan Bambang Wuryanto bukanlah sesuatu yang aneh.

“Menjadi aneh dikala hal itu diungkapkan di depan publik,” kata Adnan.

Sebab teoritis, menjadi anggota DPR dapat memerankan diri sebagai wakil rakyat, namun juga bisa memerankan diri semata-mata hanya sebagai wakil partai. Tapi siapa saja yang menjadi anggota DPR RI pasti melalui partai politik. Namun, seperti itu terpilih seharusnya dia mempunyai kemandirian dan keberanian apalagi dikala dia memiliki pandangan yang berbeda dengan partai.

“Dia ketua partainya berbeda pandangan (maka) dia harus bisa menjelaskan, tidak semata mata menjadi boneka partai. Nilai harus sadar bahwa dikala dia terpilih menjadi anggota DPR RI dia yaitu wakil rakyat,” kata Adnan.

Sekiranya Penting di RUU Perampasan Aset

Mengutip dari BBC News Indonesia, RUU Perampasan Aset akan mengatur prosedur mulai dari menelusuri, menyita, dan memblokir aset yang diduga hasil kriminalitas, sampai mengelola aset yang telah dirampas. RUU Perampasan Aset memungkinkan aset-aset hasil kriminalitas itu dikontrol dan diawasi dengan baik sehingga tidak ada lagi aset yang nilainya turun, lelangnya tidak jelas, sampai kehilangan barang bukti.

Adnan menambahkan jikalau semua poin yang terdapat dalam RUU Perampasan Aset sudah pantas, namun menurutnya yang paling penting yaitu pembuktian terbalik, adalah pembuktian atas harta kekayaan diluar batas penghasilan yang diterima pejabat negara. Menurut dia gagal menandakan maka slot garansi negara mempunyai hak untuk merampas harta hal yang demikian.

RUU Perampasan Aset harus disahkan untuk mengurangi, menakuti para koruptor, dan membuat calon-calon koruptor berdaya upaya dua kali jikalau ingin melakukan tindak kriminalitas korupsi.

Menurut laporan Transparency International yang ialah organisasi non-pemerintah berskala internasional yang memerangi korupsi menonjolkan, indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia tercatat sebesar 34 poin dari skala 0-100 pada 2022. Akibat RUU ini tidak lantas disahkan, indeks korupsi di Indonesia tidak akan membaik atau malah menjadi lebih buruk.

“Silahkan datang ke Sukamiskin, tidak ada wajah koruptor yang sedih,” kata Adnan.

Harapan Positif dan Sekiranya Akibat RUU Perampasan Aset disahkan

RUU Perampasan Aset ialah pintu masuk Indonesia dapat menjadi anggota Financial Action Task Force (FATF). FATF ialah organisasi yang didirikan untuk memerangi pencucian uang dan pendanaan teroris global. Untuk menjadi anggota FATF, Indonesia harus memiliki UU Perampasan Aset. Dengan seperti itu, Indonesia akan lebih mudah untuk melakukan pelacakan aset di luar negeri.

Menurut penyimpanan aset hanya berupa barang mewah maka akan mudah untuk dilacak, namun jikalau dalam wujud investasi atau saham perusahaan global tidak hanya skor aset yang ditanam namun keuntungan yang didapatkan hal yang demikian juga ikut serta serta disita.

“Dan metode kerjanya itu sungguh-sungguh rumit jadi UU hal yang demikian mempermudah untuk melacak aset,” kata Adnan.

Adnan ingin agar RUU Perampasan Aset lantas dibahas dan disahkan, tidak perlu slot bet 200 saling melempar antara pemerintah dengan DPR namun lantas dibuktikan dengan tindakan malah jikalau perlu melibatkan media untuk meliput tiap-tiap perkembangannya.

Sementara itu menurut Adnan, sebagai mahasiswa sikap yang dapat dilaksanakan untuk mendukung RUU Perampasan Aset ini lantas dibahas dan disahkan oleh DPR yaitu dengan membuat petisi.

“Buat petisi untuk mendukung RUU ini lantas dibahas dan disahkan,” tutup Adnan.